Rabu, 17 Maret 2010

belajar belajar belajar

“Belajar” itulah jawaban pelatih sukses dunia Anthony Robin ketika ditanya rahasia kesuksesan dirinya dari seorang pembersih toilet yang berpenghasilan puluhan dolar dan sekarang menjadi seorang multi miliar dolar.Mendengar kata belajar, pastilah membawa ingatan kita ke waktu dimana kita masih bersekolah, di mana hampir tiada hari tanpa membaca buku, melihat dan mendengarkan bapak dan ibu guru mengajar serta mengerjakan tugas yang serasa tidak pernah ada habis-habisnya.
Berkebalikan dengan sahabat-sahabat yang meninggalkan membaca buku selepas sekolah, saya mulai membaca setelah tidak berpangkat sebagai murid, tanpa ingin menyombongkan diri, dulu di masa sekolah saya adalah murid yang paling rajin membolos, jawara dalam tidak mengerjakan PR dan selalu menduduki peringkat 3 besar dari bawah.
Sadar akan ketertinggalan yang jauh dengan teman-teman yang lain, serta dibarengi keinginan kuat untuk bisa berguna bagi dunia ini, mata saya mulai terbuka, pentingnya arti belajar tertanam dalam di benak ini dan di waktu itulah perubahan seketika terjadi, saya mulai berusaha dua kali lebih keras belajar, dua kali lebih kuat berpikir, dua kali lebih banyak membaca dari teman teman lainnya. Dan saat ini tanpa maksud menggurui pembaca, izinkan saya berbagi tulisan mengenai “belajar”.
Bukan belajar seperti membaca dan mengetahui teori saja yang dimaksud oleh Antony Robbins diatas Menurut Anthony Robbins, belajar adalah seperti kita mengendarai mobil, bila kita mengetahui dimana tempat pedal gas, rem dan kopling serta cara memindahkan gigi, itu berarti kita belum belajar. Belajar artinya kita melakukan sebuah tindakan baru,sebuah tindakan yang konsisten dan berkesinambungan sehingga apa yang kita pelajari bisa menjadi sebuah kebiasaan.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Confucius, “to know but not to do is not yet to know”, mengetahui tapi tidak melakukan itu sama artinya dengan tidak mengetahui. Melakukan atau mengambil tidakan dari apa yang diketahui itulah inti dari mengapa kita belajar. Dan apabila tindakan ini diulang dan diulang terus maka keterampilan akan muncul, dan dengan keterampilan inilah keunggulan seseorang dipandang oleh orang lain. Pandangan serupa juga diungkap oleh Filosof terkenal Yunani Aristoteles “kita adalah apa yang kita lakukan berulang-ulang… maka, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan hasil dari kebiasaan”. Seorang bisa meraih juara dalam turnamen bulu tangkis karena ia belajar dan belajar terus untuk meningkatkan kemampuannya. Kita semua pada awalnya sama, kita tidak punya kemampuan apa-apa, kita belajar berjalan, belajar berbicara dan belajar bagaimana untuk makan dengan sendok dan garpu. Apapun yang kita mampu lakukan saat ini semuanya diawali dengan belajar, bukan?
Sikap MentalKalau ditanya, pada masa apakah manusia belajar paling banyak? Pada saat dewasa, remaja atau pada saat kita sebagai anak-anak? Ya, jawabannya pastilah saat anak-anak. Sewaktu masih kanak-kanak, manusia belajar lebih banyak dibanding masa manapun dalam pertumbuhannya. Sampai-sampai Robert Fulghum, seorang pendeta unitarian menulis buku “All I Really Need to Know I Learned in Kindergarten” (Semua yang Perlu Saya Ketahui Telah Saya Pelajari di Taman Kanak-Kanak)
Anak-anak mempunyai suatu sikap mental yang luar biasa, mereka melihat segala sesuatunya dengan apa adanya, anak-anak mempertanyakan segala sesuatunya, tidak ada kamus ‘tidak mungkin’ dalam benaknya, fantasi mereka jauh melampaui logikanya. Dan disisi inilah kita sebaiknya belajar pada anak-anak tentang belajar itu sendiri.
Paling tidak ada tiga sikap mental dari anak-anak yang harus kita lakukan untuk bisa memaksimalkan apa yang ingin kita dapatkan. Secara sederhana sikap ini bisa dianalogikan seperti menuang air dari botol ke sebuah gelas, ada 3 syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah gelas agar dapat terisi air tersebut.
Syarat pertama adalah terbuka, hanya dengan gelas yang terbukalah air bisa masuk, dan hanya dengan berpikiran terbuka (open mind) juga suatu ilmu bisa mengalir ke dalam diri ini. Seseorang bisa bersikap terbuka karena ada suatu rasa keingintahuan lebih banyak tentang apa yang dia ingin ketahui ini, dalam bahasa lain kita menyebut rasa ingin tahu yang besar layaknya seorang bocah ini sebagai rasa penasaran. Penasaran ternyata adalah suatu elemen yang utama dalam menimba ilmu, bahkan manusia terjenius sepanjang sejarah, Leonardo da Vinci menempatkan Curiosita atau rasa ingin tahu ini sebagai prinsip pertama dari tujuh prinsip Da Vinci seperti yang di tulis oleh Michael J.Gelb dalam buku apiknya “Menjadi Jenius Seperti Leonardo Da Vinci”. Hampir serupa dengan Leonardo Da Vinci, Albert Einstein yang di nobatkan sebagai “manusia dengan otak paling encer pada abad 20” ini, pernah berkata kalau dia bukanlah orang yang punya bakat khusus melainkan orang yang punya rasa penasaran yang hebat. Terbuka terutama terhadap sesuatu yang baru dan rasa ingin tahu yang besar adalah syarat pertama.
Yang kedua adalah kosong. ‘Kosongkan gelasmu’…sebuah istilah populer yang mungkin sering kita dengar. Memang, sesuatu yang penuh tidak akan bisa menampung apa-apa, hanya kekosonganlah yang mempunyai nilai untuk sesuatu yang baru. Pikiran yang penuh dengan asumsi atau persepsi yang ada sebelumnya -walau tidak selalu- namun sering menjadi penghalang dalam proses belajar. Layaknya anak kecil yang melihat dengan apa adanya, mereka jauh dari sikap menghakimi. Dan seperti inilah sikap mental yang harus kita miliki bila ingin belajar lebih banyak dan lebih dalam terhadap sesuatu yang baru.
Dan yang ketiga yang tak kalah pentingnya adalah gelas tersebut haruslah lebih rendah daripada botol yang mengisinya. Bagaimanapun terbuka dan kosongnya gelas, tetap tidak akan terisi kalau posisi gelas itu lebih tinggi daripada botol yang akan mengisinya. Bersikap rendah hati, menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang kita miliki adalah satu syarat penting lainnya dalam belajar. Anak-anak menyadari kalau dirinya masih kecil dan jauh dari pengalaman, anak-anak selalu mengangap orang tua lebih tahu dari dirinya.
Teringat saya kepada seseorang berjiwa jernih Lao Tze, seorang filsuf yang juga pencipta ajaran Taoisme berkata, “mengetahui bahwa kita tidak tahu apa-apa adalah awal dari kebijaksanaan.”. Kalau kita merasa sudah tahu semuanya, kita akan merasa cukup. Ini bisa diibaratkan sebuah buah yang sudah matang, dan kita semua tahu bila buah sudah matang maka sebentar lagi akan menjadi busuk. Merasa diri kurang, merasa kita masih jauh dari pencapaian membuat kita terus belajar.
GuruKalau di atas kita berbicara tentang “gelas”(murid), maka bagaimana dengan “botol”nya, yaitu seseorang yang memberikan sesuatu kepada kita atau sering kita menyebutnya dengan sebuah kata yang agung yaitu Guru. Mengapa saya menyebut dan menempatkan sosok guru sebagai sesuatu yang agung? Dalam bahasa Sansekerta, Gu artinya kegelapan dan Ru artinya menghilangkan, jadi Guru adalah ia yang menghilangkan kegelapan. Seseorang yang membawa cahaya, seseorang yang membawa terang kepada hidup kita.
Siapakah dia? Apakah dia bapak dan ibu guru yang ada di sekolah? Ya, namun bukan itu saja. Orang tua, kakak? Ya, namun itu baru sebagian kecil. Terus siapa lagi??
Setiap orang, ya setiap orang adalah guru kita. Mungkin muncul di benak pembaca, apakah perampok, pencuri dan tukang tipu adalah guru kita? Saya akan langsung menjawabnya dengan YA, karena merekalah sebenarnya yang mengajari kita lebih banyak hal dari guru di sekolah kita tentang arti sebuah kejujuran dan keadilan. Kahlil Gibran seorang penyair besar dari Libanon dengan indahnya menulis…
“Aku belajar diam dari yang cerewet, toleransi dari yang tidak toleran dan kebaikan dari yang jahat; Namun anehnya aku tidak pernah merasa berterima kasih kepada guru-guruku ini”
Apa yang ditulis oleh Gibran diatas buat saya pribadi adalah sebuah resep istimewa dalam menghadapi “orang-orang sulit” yang sebenarnya adalah guru-guru kita.
Sejenak melayang pikiran saya ke 2000 tahun yang lalu dan berandai-andai mungkin inilah yang ingin Yesus Kristus sampaikan dengan berkata “Kasihilah musuhmu”. Seolah-olah kita diajak untuk tidak melihat musuh sebagai sesuatu yang harus dihindari, musuh mengajarkan kita begitu banyak tentang hidup dan kehidupan. Musuh adalah guru sejati kita, untuk itulah kita harus mengasihinya.
Dari sudut pandang yang serupa secara praktis dalam sebuah sub judul Richard Carlson menulis…“Anggaplah setiap orang yang berjalan di bumi ini sudah tercerahkan kecuali Anda sendiri”. Apa yang ingin dikatakan oleh Richard dalam buku pertama dari seri bukunya yang berjudul “Don’t Sweat the Small Stuff” (Jangan Meributkan Masalah-masalah Kecil) adalah bila Anda bertemu dengan orang yang membuat hati anda mendidih, jangan marah namun rubahlah cara berpikir Anda bahwa orang di depan Anda adalah orang yang telah tercerahkan, dia dikirim kepada Anda oleh Pencipta supaya Anda belajar untuk bersabar. Bukankah orang-orang yang membuat diri kita sulit adalah orang-orang yang membuat kita pintar? Sidhartha “Sang Budha” Gautama juga pernah berkata “ Pada akhirnya kita akan sangat-sangat berterima kasih kepada orang-orang yang membuat diri ini sulit”
Bila orang yang cerewet mengajari kita mendengar, yang keras mengajarkan kita disiplin, yang kaku mengajarkan kitapentingnya bersikap fleksibel, pembohong mengajarkan kita besarnya arti kejujuran dan mereka yang berselingkuh megajarkan arti sebuah kesetiaan, maka diakhir tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengingat-ingat orang-orang yang selama ini kita benci, yang selama ini kita hindari dan yang selama ini kita ingin membalas perbuatan yang tidak menyenangkan yang telah diperbuat kepada kita,. Setelah mengingatnya, kemudian tanyakan pada diri sendiri, apakah pelajaran yang ingin mereka berikan kepada diri ini?
Bila kita menemukan pelajaran yang berharga dalam hidup ini dari sahabat-sahabat tersebut, itu berarti kita telah belajar sesuatu. Dan ucapkan terima kasih karena mereka adalah guru kita, karena mereka kita menjadi lebih bijak.
Jadikan setiap orang menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam pelajaran. Have a wonderful life.

Tidak ada komentar: